Sebelum tanah di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara diketahui mengandung bahan mineral bernama nikel, penduduk di provinsi tersebut masih hidup tenteram dan damai.
Kala itu, meskipun dari kaca mata ekonomi kehidupan warga masih jauh dari sejahtera untuk tidak dikatakan melarat, namun mereka tetap tidur nyaman.
Warga yang bermukim di atas tanah yang mengandung bahan mineral bernilai ekonomi tinggi itu tidak pernah terusik, apalagi sampai tertindas. Mereka hidup di tengah lingkungan udara bersih dan jauh dari kebisingan bunyi kendaraan truk atau mobil seperti yang dirasakan masyarakat kota.
Lahan-lahan milik warga yang ditanami berbagai jenis tanaman pertanian seperti padi, jagung, ubi kayu, sagu dan sebagainya maupun tanaman perkebunan seperti kakao, jambu, kelapa dan cengkeh, menjadi penupang utama kehidupan keluarga mereka.
Berbagai jenis tanaman pertanian dan perkebunan tersebut menjadi mesin pengepul asap di rumah-rumah warga.
Namun kini, lahan-lahan subur di sejumlah kabupaten dan kota itu tak lagi menghasilkan apa-apa. Tanaman tumbuh yang ada di dalamnya tergilas oleh aktivitas penambangan nikel yang mendapat izin resmi dari Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah Provinsi.
Bahkan, sejumlah sumber mata air yang menjadi kebutuhan utama bagi warga sudah tercemar limbah dari sejumlah perusahaan tambang nikel maupun emas yang beroperasi di wilayah mereka.
Demikian pula dengan lahan usaha seperti tambak, persawahan dan tempat budida daya rumput laut, sebagain besar tak lagi dapat diolah karena sudah tertutup lumpur tanah yang meluber dari kawasan penambangan nikel.
Kondisi memprihatikan tersebut tampak jelas menimpa warga di sekitar kawasan tambang seperti di Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan, Asera (Konawe Utara) dan Kampontori, Talaga Raya (Kabupaten Buton) dan di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana.
Yupi, koordinator massa dari Kabupaten Konawe Selatan yang berunjuk rasa di gedung DPRD Sultra, Senin (24/10), mengungkapkan, sejak perusahaan tambang PT Sambas Mineral Mining beroperasi di Konawe Selatan, sebagian besar lahan pertanian, tambak dan budidaya rumput laut sudah tertutup limbah tanah dari aktivitas penambangan nikel, yang menyebabkan warga di sekitarnya menderita dan sengsara.
"Parahnya lagi, PT Sambas tidak memenuhi kewajibannya membayar Rp400 juta per 50.000 ton tanah nikel kepada warga pemilik lahan sesuai kesepakatan yang telah dibuat," kata Yupi.
Cemari mata air
Di pulau Kabaena, misalnya, ribuan kepala keluarga saat ini sudah terancam kehilangan sumber air bersih akibat aktivitas perusahaan tambang nikel yang beroperasi wilayah mereka.
Sejumlah mata air yang selama ini menjadi sumber air bersih warga, kini tak dapat lagi dimanfaatkan karena sudah tercemar lumpur dari aktivitas penambangan nikel di sana (Kabaena Selatan-red).
Menurut tokoh masyarakat Kabaena Selatan, Karta Pati (49), lumpur yang mencemari sejumlah mata air yang menjadi sumber air bersih bagi ribuan warga tersebut berasal dari areal tambang nikel milik PT Anugrah Harisma Baraka.
Selain itu, warga di sekitar kawasan tambang tak lagi leluasa menggarap lahan-lahan mereka menjadi lahan perkebunan. Tak jarang warga yang sekedar melintas di sekitar kawasan tambang diusir dan dikejar-kejar oleh petugas perusahaan tambang.
"Keberadaan perusahaan tambang itu telah menyengsarakan warga di Kabaena Selatan. Selain sumber mata air tidak lagi dapat dimanfaatkan warga, juga warga yang melintas di sekitar areal tambang kerap kali diancam dan diusir petugas dari perusahaan," kata Karta Parti.
Sementara di Tinangea, Kabupaten Konawe Selatan, sejumlah lahan tambak dan persawahan milik warga sebagian besar tak dapat lagi diolah akibat tertutup lumpur tanah dari aktivitas penambangan nikel sejumlah perusahaan seperti PT Ifis Deco dan PT Wijaya Inti Nusantara.
Bahkan, warga di sekitar kawasan tambang di Tinanggea tersebut kini dalam ancaman penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat debu tanah nikel yang beterbangan di perkampungan warga saat mobil truk pengangkut tanah nikel tersebut lalu-lalang keluar masuk kawasan tambang.
"Kami warga di Tinanggea kini dalam kesulitan besar. Selain sumber mata pencaharian warga sebagian sudah tertutup, juga warga dalam ancaman penyakit ISPA," kata Haryono, warga setempat, di Kendari baru-baru ini.
Menurut Haryono, warga Konawe Selatan sudah berulang kali menyampaikan keberataan atas keberadaan sejumlah perusahaan tambang nikel tersebut, baik melalui unjuk rasa di gedung DPRD Konawe Selatan, DPRD Sultra maupun kantor Gubernur Sultra, namun keberatan warga tersebut hanya dianggap angin lalu.
Hal yang sama juga terjadi di Kampotori dan Talaga Raya, Kabupaten Buton. Aktivitas penambangan nikel yang dilakukan PT Bumi Buton Delta Megah (BDM) telah mengancam kelestarian kawasan hutan Lambusango, kawasan hutan suaka margasatwa.
Aktivitas penambangan nikel di sekitar kawasan hutan tersebut sudah berkali-kali diminta masyarakat agar ditutup, namun tak digubris.
Siapa untung
Di Sultra, perusahaan tambang yang mengeksploitasi tambang nikel, emas dan aspal saat ini sudah tercatat 300 perusahaan. Sebelum ratusan perusahaan tambang tersebut mengeksploitasi tambang, warga dijanjikan bahwa kehadiran perusahaan tersebut akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Pada setiap kesempatan, Gubernur Sultra, Nur Alam, selalu meyakinkan masyarakat bahwa masyarakat Sultra hanya bisa sejahtera jika potensi sumber daya alam di daerah ini dieksploitasi.
Bahkan, gubernur meminta kepada Presiden Susilo Bambang Ydhoyono agar daerah lain dijadikan kawasan ekonomi khusus (KEK) bidang pertambangan.
Menurut Nur Alam, jika provinsi ini dijadikan KEK, selain bisa mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari produksi pertambangan, masyarakat juga bisa terserap menjadi karyawan atau tenaga kerja di perusahaan tambang.
Namun, apa yang disampaikan gubernur tersebut tampaknya masih menjadi mimpi indah dan penyedap telinga bagi masyarakat.
Realita di tengah masyarakat, sejak sejumlah perusahaan tersebut berburu nikel dan emas di daerah ini, warga dari berbagai pelosok desa, menjadi rajin berteriak di DPRD, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi.
Mereka datang mengadukan berbagai penderitaan yang dialami warga di sekitar kawasan tambang di lembaga terhormat tersebut. Para tamu DPRD tersebut rata-rata mengaku bahwa sumber kehidupan mereka sudah tertutup oleh aktivitas penambangan nikel.
Ironisnya, rintihan rakyat kecil tersebut kurang mendapat respons dari anggota DPRD yang nota bene wakil wakyat itu. Para wakil rakyat hanya menampung keluhan mereka, lalu berkunjung di lokasi tambang.
Tidak jelas apa hasil kunjungan para wakil rakyat di perusahaan tambang tersebut. Faktanya, tidak ada perubahan sikap dari perusahaan yang sudah dikunjungi para wakil rakyat tersebut. Masyarakat di sekitar kawasan tambang tetap hidup menderita dan tidak jarang menjadi korban banjir, sebagai dampak dari aktivitas penambangan.
Lantas siapa yang mendapat untung dari aktivitas penambangan nikel itu, dan siapa pula yang disejahterakan?
Menurut mantan Gubernur Sultra, Ali Mazi, pengerukan SDA bidang pertambangan di suatu daerah, hanya menguntungkan koorporasi dan para pemilik modal. Masyarakat di sekitar kawasan tambang sebagai pemilik lahan, hanya menerima dampak dari aktivitas penambangan.
"Di mana pun di belahan dunia ini, tidak ada daerah pertambangan yang masyarakatnya hidup makmur dan sejahtera. Pengerukan sumber daya alam di suatu daerah, hanya menjadi bom waktu penderitaan berkepanjangan bagi warga sekitar," kata Ali Mazi di Kendari, belum lama ini.
Dalam pandangan Ali Mazi, untuk menyejahterakan masyarakat, tidak perlu mengeruk suber daya alam di dalam perut bumi. Sumber kesejahteraan masyarakat di muka bumi bukan di dalam perut bumi, melainkan terhampar pada lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang subur.
"Kalau lahan-lahan sumbur itu kita tanami satu biji padi atau jagung, alam akan mengembalikannya beberapa butir padi atau satu buah jangung yang di dalamnya berisi ratusan butir atau biji jagung. Itulah kemurahan alam yang menjadi sumber kemakmuran rakyat," ujar Ali Mazi.
Namun, jika mengeruk sumber daya alam dari perut bumi menurut Ali Mazi, yang terjadi adalah kerusakan lingkungan dan ketidakseimbangan alam. Dampaknya yang belakangan muncul adalah bencana demi bencana yang membawa kesengsaraan dan penderitaan berkepanjangan bagi masyarakat.
"Kita bisa lihat di wilayah Sultra sendiri, berapa banyak warga di sekitar kawasan tambang seperti di Kabupaten Bombana, Kolaka, Buton dan Konawe Selatan yang saat ini menderita gara-gara aktivitas penambangan nikel," katanya.
ANT
Sumber :
http://kabarbengkulu.com/kabar-khusus/read/ketika_nikel_jadi_buruan_investor/
No comments:
Post a Comment