Oleh Hary El Tampanovic
Kabaena, pulau eksotik dengan pemandangan indah, yang jarang terungkap, pulau ini unik. Panorama pulau dan desa di dalamnya sangat indah. Laut dangkal kehijauan dengan pasir putih mengkilap terserak mengitari pulau. Di beberapa tempat terdapat terumbu karang yang belum terjamah.
Kabaena atau Kobaena berarti memiliki beras dalam bahasa setempat. Luas pulau ini 86.769 hektar. Ia bisa di tempuh sekitar 4 jam dari kendari, ibu kota Sulawesi tenggara.
Tapi, sepertinya keindahan Kabaena tak akan lama. Serbuan perusahaan tambang yang mengeruk permukaan pulau telah mengancam keberlanjutan fungsi pulau ini. Kabaena merupakan pulau kecil bagian wilayah Kabupaten Bombana. Namun, pulau ini telah di kapling 19 blok konsesi Tambang, yang 16 diantaranya merupakan izin Kuasa Pertambangan, disingkat KP. Luasnya mencapai 200 hektar hingga 500 ha per-satu izin. Sementara sisanya adalah Kontrak Karya (KK), salah satunya milik PT. INCO Tbk.
Kini , terdapat tiga perusahaan yang telah mengantongi izin eksploitasi. Mereka adalah PT. Bily Indonesia, PT. Timah Eksplomin dan PT. Argomorini. Lokasi PT. Argomorini berada di Desa Wulu Kecamatan Talaga Raya dan Buton. Sementara luas lahan PT. Timah 300 ha berada di Keluraha Rahampu’u, Sikeli, Desa Baliara dan Baliara Selatan.
PT. Bily Indonesia telah menimbulkan masalah di sekitar Desa Dongkala, Lambale dan Tapuhaka—tempat pengerukannya. Warga disana mulai mengeluhkan kesulitan air, lahan pertanian mereka rusak dan gagal panen. Sementara warga pesisir mengeluhkan penurunan hasil tangkapan ikan dan tambak. Diantara warga juga timbul saling curiga kepada Kepala Desa karena mendapatkan fasilitas dari perusahaan.
Kekayaan Kabaena
Hingga 2007, Pulau Kabaena dihuni 24.180 jiwa. Sebagian besar suku moronene yang menggantungkan hidupnya sebagai petani, nelayan dan budidaya rumput laut. Pohon aren, Jambu mete, kelapa, coklat dan cengkeh adalah jenis tanaman yang tumbuh subur di pulau ini.
Moronene memang bukan penduduk asli kabaena, tapi ia penduduk tertua di Sulawesi Tenggara. Konon, kedatangan suku Tolaki dari hulu sungai Konawe-eha, membuat mereka bergeser ke selatan, lalu pada masa berikutnya menyebrang ke Pulau Kabaena.
Pulau Kabaena bagian dari kabupaten bombana, yang baru pisah dari Buton, sejak dulu terkenal sebagai penghasil gula merah(Aren), dan Jambu mete, produksinya ratusan ton per-tahun. Luas lahan jambu mete mencapai 9.128 ha, potensi gula aren berasal dari lahan seluas 1.678 ha. Total luas wilayah pertanian termasuk cengkeh, Kopi, Kakao, kelapa dan kemiri adalah 17.585 ha.
Hanya saja, hasil pertanian itu masih dikelola secara tradisional dan didagangkan sebatas Kabaena hingga pulau Buton. Biar begitu, hasil dari penjualan Aren saja, warga mampu membiayai hidupnya. Rata-rata penghasilan petani aren mencapai Rp. 3 juta hingga Rp. 4 juta per-bulan. Sementara di pesisir, petani rumput laut, mampu meraup penghasilan Rp. 6 juta tiap kali panen.
Kata Kabaena berasal dari bahasa Buton, Kobaena berarti pemilik beras. Di masa lalu, Kabaena terkenal produksi beras dan kerbaunya. Ia bahkan dikenal sebagai lumbung beras bagi kesultanan Buton. Setiap tahun, seribu Kabalu(sekitar 50.000 liter) beras disumbangkan untuk Kesultanan Buton.
Pulau ini juga mendapat sebutan Witangkarambau, dalam bahasa Moronene berarti “tanah kerbau” dulunya, banyak kerbau yang hidup di pulau ini. Sampai-sampai kerbau menjadi mahar dalam perkawinan. Pada zaman dahulu, mahar seorang anak gadis sebanyak 12 ekor dan janda 8 ekor kerbau.
Tapi cerita tentang kerbau untuk mahar hanya tinggal satu cerita adat saja, kini bisa diganti sapi atau kambing karena sekarang kerbau sulit di dapat, kecuali kerbau tidak bertuan atau biasa disebut kerbau hutan. Sekarang, cerita kerbau digantikan hiruk pikuk tambang nikel.
Memang, hampir semua wilayah Kabaena mengandung potensi tambang, mulai dari marmer, batu giok, cromit, tembaga dan yang memiliki cadangan cukup besar di perkirakan mencapi 0,23 miliar m3 adalah nikel.
Tak mengherankan kalau pulau Kabaena kini penuh sesak konsesi tambang. Tak kurang 19 perusahan tambang telah meliki izin. Sembilan belas perusahaan itu adalah; PT. INCO Tbk, PT. Bily Indonesia, PT. Multi Sejahtera, PT. Orextend Indonesia, PT. Lentera Dinamika, PT. Timah, PT. Intan Mining Jaya, PT. Margo Karya Mandiri, PT. Tekonindo, PT. Bahana Multi Energi, CV. Bumi Sejahtera, PT. Gerbang Multi Sejahtera, PT. Darma Pahala Mulia, PT. Integra Mining Nusantara, PT. Makmur Lestari Pratama, PT. Lumbini Raya, PT. Arga Morini Indah, PT. Bukit Anugerah Abadi dan PT. Konawe Inti Utama.
Pembicaraan seputar perusahaan-perusahaan itu kini mendominasi pembicaraan disetiap kampung. Mereka membicarakan kesempatan mendapat pekerjaan bagi penduduk lokal, mendapat uang banyak dari ganti rugi lahan, dampak yang sudah dirasakan dan kemungkinan bencana yang akan ditimbulkan. Di media massa lokal, hampir tiap bulan ada pemberitaan tentang tambang Kabaena.
Nikel di Kabaena
Tiga dari Sembilan belas perusahaan pemegang izin KP telah memiliki izin operasi, PT. Bily Indonesia, PT. Timah, dan PT. Argo Morini Indah. Ketiga penambang nikel ini, baru PT. Billy Indonesia (PT. BI) yang telah berproduksi dan melahirkan banyak masalah dengan lingkungan maupun masyarakat.
Pemerintah daerah melalui camat Kabaena Timur sangat mendukung PT. BI, khususnya dalam pembebasan lahan. Camat membuat surat penunjukan No. 641.644/53/2007 tanggal 26 juni 2007 tentang penentuan lokasi jalan menuju pertambangan. Surat ini menunjik 18 orang terdiri dari pegawai kantor camat, Koramil, Polsek, aparat desa dan kelurahan serta tokoh masyarakat dan tokoh adapt untuk menjadi tim pembebasab lahan tersebut. Padahal, Pemda tak pernah memberitahkan warga perihal perijinan KP ini.
PT. BI beroperasi berdasarkan SK Bupati Bombana, Nomor 89 Tahun 2006, Izin KPnya mencakup wilayah 1.300 hektar di kecamatan Kabaena Timur. Cadangan biji nikelnya 2,3 juta ton. Perusahaan ini beralamat di jalan Muara Karang Blok Z 8 Utara No. 16 Jakarta. Rencananya perusahaan memproduksi mulai dari 200 ribu ton ditahun pertama, lalu 300 ribu ton di tahun berikutnya atau rata-rata peningkatan produksinya 100 ribu ton per-tahun hingga cadangan habis dikeruk.
PT. BI benar-benar beroperasi tahun 2007, dengan wilayah kerukan 194 ha, meliputi Desa Dongkala, Lambale dan Tapuhaka. Wilayah konsesinya juga berada di kawasan hutan lindung Gunung Sabampolulu, kawasan resapan air bagi aliran sungai (DAS) Lakambula.
Lain halnya PT. Timah, yang seluruh kawasannya ada di perkebunan warga Kelurahan Rahampu’u, Sikeli, Baliara dan Baliara Selatan. Meskipun sudah mengantongi KP eksploitasi dari bupati Bombana (No. 571 tahun 2007, tanggal 29 November 2007), sampai hari ini perusahaan tersebut belum berproduksi. Perusahaan masih melakukan negosiasi pembebasan lahan untuk areal produksi dan jalan serta ganti rugi tanaman warga.
Warga mengeluhkan PT. BI, proses ganti rugi yang lebih banyak merugikan mereka. Tanah warga hanya dihargai Rp. 1000/ meter, pohon jambu mete dihargai Rp. 100 ribu hingga Rp. 200 ribu . Padahal 1 pohon jambu mete mampu menghasilkan Rp. 160 ribu per-tahunnya. Jika dihitung umur tambang selama 5 tahun, sementara umur jambu mete sejak tanam hingga berbuah adalah 6 tahun, harusnya di bayarkan Rp. 1,76 juta. Sementara ganti rugi tanaman ubi kayu seluas 15x 15 meter hanya dihargai Rp. 400 ribu. Ini semua belum menghitung waktu mengembalikan kesuburan tanah seperti semula.
Yang menyedihkan, sebenarnya bahan galian tambang nikel di pulau ini tak diperlakukan sebagai bahan strategis seperti tercantum dalam UU No. 11 tahun 1967 tentang pertambangan umum. Bijih nikel Kabaena, di gali dan di kapalkan begitu saja untuk diekspor.
Kekayaan tambang ini benar-benar dikelola dengan cara paling primitif, Gali dan jual, bagaikan pengerukan bahan galian C, tak ada pengolahan, tak ada barang semi-jadi, apalagi jadi. Tak ada nilai tambah selain menjual tanah Kabaena.
Penghancuran Kabaena
Bahan galian Nikel di Kabaena, umumnya berada di kawasan hutan. Artinya kawasan hutan kabaena yang selama ini telah rusak, bertambah susut bersama datangnya industri pengerukan ini. Sebelumnya kerusakan hutan disebabkan oleh pengusaha kayu. Pada 1984, konsesi penebangan yang diberikan sekitar 75.050 hektar atau 86% luas daratan Kabaena. Empat belas tahun kemudian, luas hutan tersisa 53. 400 hektar. Setiap tahunnya, ada 1.546, 42 hektar ata 2% hutan Pulau Kabaena rusak.
Tambang lebih parah, ia tak hanya merusak daratan tapi juga kawasan pesisir. Sejak melakukan pengerukan, PT. BI telah merugikan warga pesisir, khususnya kelurahan Lambale dan Desa Dongkala. Mereka kehilangan mata pencaharian sebagai petani rumput laut dan nelayan. Itu terjadi karena pencemaran air yang berasal dari rembesan tanah galian PT. BI. Rembesan tanah galian itu turun dari perbukitan mengalir ke muara salah satu sungai dan menuju laut.
Lumpur berwarna merah di pinggir laut akibat sedimentasi dari bukit, telah menyebabkan rusaknya ratusan hektar budidaya rumput laut di kelurahan Lambale dan Desa Tapuhaka. Banyak petani yang gulung tikar karena menanggung rugi sejak itu. Sementara 20 petani rumput laut di Dusun Bungintowea, Desa Tapuhaka Kabaena Timur menghadapi masalah sejak adanya pelabuhan pengapalan nikel PT. BI, disekitar budidaya rumput laut mereka, penduduk Lambale, Dongkala, Tapuhaka juga sulit mendapatkan ikan kebutuhan setiap hari akibat berkurangnya hasil tangkapan nelayan bubu, jaring, pukat dan alat tangkap lainya.
Sejak PT. BI membuka bukit Bumbuntuwele untuk dikeruk, masyarakat Lambale mulai kekurangan air bersih. Warga terpaksa menggali sumur untuk mendapatkan air bersih. Sebelumnya, mereka mengkonsumsi air sungai Lambale yang berasal dari bukit—yang kini dikeruk PT. BI. Tapi kini, debit sungai Lambale nyaris tak dapat dimanfaatkan lagi. “Airnya berkurang, bahkan kalau hujan, banyak lumpur merah di sungai itu,” kata Amir, petani Lambale.
Masalah lainnya, kondisi kesehatan keluarga menurun. Di Kabaena Timur, gejala ISPA mulai muncul. “selama beberapa bulan ini, Penderita ISPA cenderung meningkat, flu, iritasi mata, batuk-batuk dan penyakit kulit lainya,” kata Al Kasar Mubarak, seorang petugas Puskesmas Kabaena Timur. Hal ini dirasakan sejak kegiatan tambang dimulai dan hilir mudik kendaraan berat yang menimbulkan debu. Tak hanya itu, warga mengeluh debu juga menyebabkan gagal panen, khususnya jambu mete. Pohon terkena debu yang menempel dan menebal dari waktu ke waktu berakibat pohon tidak akan normal.
Sejak perusahaan masuk, saling curiga antar waga juga terjadi, antara keluarga yang bekerja di perusahaan, dengan yang tidak diterima kerja. Konflik juga antara aparat kelurahan dan desa. Kepala desa atau kelurahan dituduh tidak adil karena mendapat fasilitas dari perusahaan. Aparat desa atau kelurahan memanfaatkan jabatannya dengan memberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) kepada warga pendatang yang mencari kerja ke PT. BI. Tak hanya itu, para pencari kerja ini biasanya berhadapan dengan calo-calo pencari kerja. Calo- calo ini biasanya meminta uang pelican sebesar Rp. 150 ribu hingga Rp. 200 ribu untuk pekerjaan yang ditawarkan. Akibat pencaloan ini, warga setempat yang mendapat jatah kerja terpaksa harus gigit jari karena jatahnya diambil oleh calo.
PT. Timah Eksplomin
Sampai saat ini, PT. Timah belum melakukan kegiatan. Menurut beberapa warga PT. Timah sudah memberikan kuasa pengelolaan nikelnya kepada perusahaan lain. Yang ada saat ini, kesibukan Kepala Desa, Camat dan beberapa orang warga yang membujuk warga lainnya mau menjual tanahnya. Mereka menjanjikan akan menerima mereka menjadi karyawan, jika pertambangan dibuka kelak.
PT. Tekonindo
PT. Tekonindo juga belum melakukan penggalian. Ia dikabarkan masih tahapan eksplorasi dan baru mengajukan surat permohonan Kuasa Pertambangan eksploitasi. Bulan September, ada lubang-lubang galian sedalam 6 hingga 14 meter dengan lebar satu meter persegi di areal perkebunan jambu mete milik warga Desa Pongkalaero. Banyak warga memiliki kebun kelapa dan jambu di atas areal konsesi tambang. Perusahaan akan membangun pelabuhan pengapalan di lokasi yang saat ini merupakan jalur transportasi petani dan nelayan.
Pulau Kabaena adalah pulau kecil yang sangat beresiko apabila Tambang beroperasi. Kabaena memiliki proporsi spesies endemik (spesies asli) yang tinggi bila dibandingkan pulau utama. Mempunyai tangkapan air yang relatif kecil, sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang. Dari segi budaya, masyarakat yang mendiami pulau ini mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau utama. Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi di pulau ini akan mengganggu kelestarian budaya mereka. Resiko yang paling parah adalah hilang atau tenggelamnya pulau akibat rusaknya daratan dengan lubang-lubang tambang yang ditinggalkan.
Demo Menolak Tambang
Pengerukan nikel PT. BI belum lama berlangsung, namun telah mendatangkan masalah terhadap lingkungan dan masyarakat. Inilah yang membuat warga sekitar tidak tahan, mereka angkat suara melakukan aksi.
Berkali-kali aksi dilakukan. Pada aksi kelima, 24 juli 2008, ratusan warga dari dua kelurahan dan desa di Kabaena Timur mendatangi PT. BI. Mereka kembali mengajukan tuntutan, aksi-aksi sebelumnya tak pernah digubris perusahaan apalagi pemerintah. Dalam tiap aksinya, mereka menuntut pemerintah Bombana tidak lagi memberikan izin pertambangan dalam bentuk apapun. Sebelum ada persetujuan dengan masyarakat.
Menurut mereka, pemerintah Bombana dan Camat Kabena Timur harus bertanggung jawab terhadap munculnya keresahan warga di kecamatan ini akibat kegiatan pertambangan di daerah tersebut. Pada aksi yang kelima itu terdapat kesepakatan untuk pertemuan multi pihak dan tuntutan antara pihak perusahaan, Camat dan Aliansi Masyarakat Kabaena Bersatu (AMKB). Dimana kesepakatan tuntutan ini harus dipenuhi dalam waktu 2×24 jam.
Mereka meminta PT. Bily Indonesia menjamin keselamatan warga Kabaena Timur dengan jalan menghentikan kegiatan penambangan di sekitar bukit Bumbuntuwele tanpa kompromi. Bukit tersebut merupakan kawasan resapan air Kelurahan Lambale dan juga mereklamasi lahan yang sudah dikeruk. Usai waktu yang ditentukan, AMKB menuju PT. BI hendak meminta jawaban atas kesepakatan tuntutan. Setibanya dilokasi, AMKB mendapati pagar betis satuan Dalmas Polres Bombana.
Warga pun bersitegang untuk masuk ke jalan PT. BI karena dilarang oleh Polisi. Pada kesempatan ini Kapolsek, Danramil serta pihak Kecamatan menyatakan bahwa warga tidak berhak menghentikan perusahaan karena telah mendapatkan izin resmi dari pemerintah. Keberpihakan aparat Polisi terhadap perusahaan terlihat jelas. Di dalam kesempatan Ibadah Sholat Jum’at, Kapolsek selaku penceramah menyampaikan pentingnya dan keuntungan bagi warga jika tambang masuk.
Tak cuma PT Bily Indonesia yang ditolak, bersama mahasiswa, warga juga menuntut PT. Timah Eksplomin meninggalkan Kabaena. Aksi mereka tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Kabaena, sudah dua kali aksi penolakan PT. Timah mengeruk wilayah mereka. Hingga tahun 2008, aksi penolakan terus berlangsung.
Sedihnya, pemerintah dan wakil rakyat yang bisu tuli di Bombana, membuat tuntutan-tuntutan dan aksi warga tak terdengar. Seluruh perangkat Negara mulai dari pemerintah daerah hingga DPRD Bombana, seolah-olah tak melihat ada persoalan akibat tambang PT. Bily Indonesia.
Bayangkan, jika pulau Kabaena menjadi kawasan penggalian, dengan sedikitnya 19 perusahaan tambang di sana yang sudah berizin. Apalagi Kabaena belum memiliki tata ruang yang detail dan melindungi masyarakat dan layanan alamnya. MAKA, TENGGELAMNYA KABAENA TINGGAL MENUNGGU WAKTU…
Semoga bermanfaat!
Tulisan ini juga dimuat dalam buku “KABAR DARI PULAU”
Sebuah buku terbitan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), yang memuat tulisan-tulisan tentang daya rusak industri Tambang
dari berbagai daerah di Indonesia (Sumatera hingga Papua) …
Sumber :
http://theindonesianwriters.wordpress.com/2010/06/30/kabaena-kerbau-dan-nikel/
No comments:
Post a Comment