Monday, August 20, 2012

Pulau Kabaena yang Terus Merana

YAMIN INDAS

Kegetiran hidup masyarakat Kabaena belum juga berakhir. Empat tahun menjadi bagian dari wilayah pemekaran Kabupaten Bombana belum cukup bagi warga setempat menikmati prasarana jalan yang baik. Hubungan transportasi masih sangat sulit. Keadaan ini sangat kontras dengan keindahan alam Pulau Kabaena yang cukup berpotensi dikembangkan menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Provinsi Sulawesi Tenggara.


Corak atau karakteristik pulau seluas 867,69 kilometer persegi itu adalah alam pegunungan. Dari arah mana pun kita mendarat, Kabaena akan selalu menyambut dengan pegunungan hijau berlapis-lapis yang menyejukkan mata.

Ketika kapal memasuki Pelabuhan Dongkala di ujung timur pulau itu, pengunjung akan dikerubuti pengemudi ojek yang menawarkan jasa untuk mengantar dengan sepeda motor ke tujuan yang dikehendaki. Mobil angkutan umum sangat langka.

Pemandangan alam pegunungan semakin memukau tatkala memasuki pedalaman. Ada dua puncak tertinggi yang menantang untuk didaki para pemanjat tebing dan pencinta alam, yakni puncak Sangia Wita (1.800 meter) dan Watu Sangia (1.400 meter).

Puncak yang terakhir adalah gunung batu gamping yang berkilau bila ditimpa sinar matahari. Gunung ini berpuncak dua. Konon, di antara dua bukit kembar itu terdapat danau yang berisi berbagai jenis ikan.

Pemandangan unik yang disajikan dua bukit kembar tersebut dapat dinikmati pengunjung jika mendarat di Pelabuhan Sikeli. Ini pintu gerbang kedua bagi Pulau Kabaena di pantai barat setelah Pelabuhan Dongkala di pantai timur.

Menikmati alam pegunungan Pulau Kabaena tak lengkap tanpa mengunjungi tiga desa berhawa sejuk. Ketiga desa tersebut adalah Tangkeno di lereng Gunung Sangia Wita, serta Desa Tirongkotu’a dan Rahadopi di lereng Gunung Watu Sangia.

Goa dan karang atol

Selain alam pegunungan, Kabaena juga memiliki kawasan wisata Goa Watuburi di lereng pegunungan karst Lengora dan Pulau Sagori di Sikeli. Pulau kecil ini merupakan karang atol berbentuk setengah lingkaran. Hampir separuh dari lingkaran tersebut merupakan pasir putih bersih yang menawarkan kenyamanan untuk bersantai atau berjemur di panas matahari.

Dari Benteng Tawulagi di Desa Tangkeno akan terasa lebih asyik menikmati keindahan alam karang atol tersebut. Dari sana Sagori menampilkan pemandangan dalam sapuan empat warna: biru tua sebagai garis terluar, biru muda, garis pantai berwarna putih, kemudian nuansa hijau di tengah pulau. Nuansa hijau bersumber dari tajuk-tajuk cemara.

Sagori terukir dalam sejarah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan dagang yang menjadi cikal-bakal kekuasaan Belanda di Nusantara. Iring-iringan lima armada niaga kandas dan remuk di pulau karang itu pada 4 Maret 1650.

Pada era 1990-an, ketika Bali sebagai pintu gerbang wisata Indonesia belum tercemar bom teroris, Pulau Sagori menjadi sasaran kunjungan turis mancanegara setiap tahun. Turis yang datang berasal dari Eropa, AS, Kanada, Jepang, Australia, Timur Tengah, dan Filipina. Mereka datang dengan kapal cruise setelah mengunjungi beberapa obyek wisata di Buton dan Muna.

Karang atol berjarak sekitar 2,5 mil dari Pulau Kabaena. Dari Pelabuhan Sikeli bisa dicapai sekitar 30 menit dengan perahu motor atau 15 menit dengan speedboat.

Bagi wisatawan minat khusus, seperti penelusur goa, Watuburi di Desa Lengora adalah salah satu goa di Kabaena yang paling menantang untuk ditelusuri. Selain pemandangan khas seperti stalaktit dan stalagmit di ruang depan pintu masuk, Goa Watuburi juga memiliki lorong sepanjang pegunungan karst Lengora yang selama ini belum pernah ditelusuri.

Sejumlah benteng dan makam tua di Desa Tangkeno juga menanti turis peminat sejarah dan budaya. Warga setempat sering menemukan mata uang logam dan piring kuno bersimbol China yang tersembunyi di balik susunan batu benteng atau makam.

Kondisi jalan

Hubungan transportasi ke dan dari Kabaena kini cukup lancar. Pulau itu bisa dikunjungi melalui Kota Bau-Bau dan Kasipute, ibu kota Kabupaten Bombana. Kapal-kapal rakyat beroperasi mengangkut penumpang dan barang setiap hari ke Dongkala dan Sikeli dari Bau-Bau atau Kasipute.

Bagi pengunjung yang membawa mobil sendiri dapat menggunakan angkutan kapal feri di lintas penyeberangan Mawasangka-Dongkala (14 mil). Mawasangka adalah kota kecamatan di ujung Pulau Muna yang terdekat dengan Kabaena.

Sebaliknya, hubungan transportasi antarkecamatan dan desa di pulau itu masih sangat sulit. Pasalnya, prasarana jalan di sana masih jalan tanah yang menjadi kubangan pada musim hujan. Angkutan umum lokal didominasi ojek yang relatif mahal untuk ukuran kocek warga setempat yang umumnya miskin.

Jarak Sikeli-Teomikole (5 km), misalnya, penumpang ojek harus membayar Rp 10.000. Sementara itu, untuk ke desa-desa di gunung tadi dihargai Rp 20.000 sampai Rp 25.000. Angkutan roda empat sangat langka karena kondisi jalan yang jelek.

Akibat sulitnya transportasi di Kabaena, warga setempat tak berdaya untuk keluar dari jebakan kemiskinan. Masalahnya, biaya angkutan jauh lebih tinggi dari nilai barang yang mereka hasilkan.

”Kami pasrah saja. Toh, keadaan seperti ini sudah dirasakan warga Kabaena turun-temurun,” ujar Paito (60), warga Desa Tangkeno. Perajin gula merah dari nira aren itu menuturkan, harga gula merah di desanya (Maret 2008) Rp 750 per kilogram, sementara di Dongkala Rp 3.500 per kg. Padahal, jarak kedua tempat itu sekitar 30 km.

Pegunungan Kabaena amat menyejukkan. Nuansa alam di Desa Tangkeno terasa seperti di daerah Bukittinggi, Sumatera Barat. Namun, kehidupan rakyat di kawasan lereng Gunung Singgalang itu jauh lebih makmur.

Bila malam merangkak turun, warga Tangkeno segera meringkuk di gubuk mereka untuk melawan dingin. Seperti umumnya model rumah Kabaena, perumahan di desa itu berbentuk rumah panggung atau rumah kaki seribu tanpa fasilitas kakus.

Sumber :
http://www1.kompas.com/read/xml/2008/04/18/02172298/pulau.kabaena.yang.terus.merana

No comments:

Post a Comment